Powered By Blogger

Senin, 11 April 2011

TEKADKU

Desir angin jalang menerpa wajahku. Debu jalanan tergilas kian kemari oleh lalu lalang kendaraan di negara sahara ini. Terasa sungguh panas. Di tengah timur ini matahari lebih dekat dengan bumi sehingga sungguh terasa sengitnya matahari pagi. Tak ada bedanya siang dan pagi suasananya setara, apa mungkin memang bulan-bulannya musim kemarau. Aku sendiri tak habis pikir, mengapa aku bisa sampai hidup dan tinggal di sini. Untuk berhabitat dan bersosialisasi di negara ini memang cukup berat. Meskipun hanya untuk beberapa waktu. Sedangkan aku sendiri pada awalnya tak betah. Tapi tak apalah, yang kupikirkan hanya bagaimana supaya ada aksi reaksi terhadap kelakuanku mematuhi undang-undang di negara ini. Hidup di negara arab tentu harus memiliki keahlian. Sedangkan kalau tak memenuhi keriteria yang cukup untuk dapat bekerja di kota ini tentunya hanya mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dasar. Tak sedikit aku temui para tki yang bekerja hanya sebagai babu. Pada dasarnya pekerjaan itu halal-halal saja. Mencari nafkah dengan bekerja di suatu rumah. Membersihkan, menata, dan meletakan pada posisi yang sesuai. Yang termasuk kedalam keriteria rumah yang bersih, wangi, dan terawat. Jangan sapai debu-debu zaman hinggap dalam gelas-gelas Kristal itu. Tapi jerih payah seorang babu tak ada yang bisa memahami. Begitupun babu, ia ingin pula dihargai. Banyak sekali aku dapatkan nyonya-nyonya yang tega, sungguh tega. Memberi makanan bekas kepada pembantunya. Meskipun makanan itu bersih, halal atau mahal. Tapi setidaknya tidak memberi makanan bekas yang telah ia makan dan sisanya diberikan kepada babu. Sungguhpun babu, mereka tak ingin diperlakukan seperti itu. Didunia ini memang tak semua manusia kaya secara keseluruhan, masih banyak terdapat manusia yang hidup kelaparan.dengan ketidak samaan ini munculah suatu kebutuhan timbal balik. Orang kaya dalam kehidupannya tentu ia membutuhkan orang lain yang bisa mengerjakan sesuatu untuknya. Dan dalam proses ini kaum miskin tentu ingin sekali mendapatkan bantuan atau upah dari orang kaya. Jarang sekali ditemukan seorang kaya yang bekerja dengan orang lain yang termasuk kaya pula. Tentu ia merasa bahwa dirinya sudah kaya dan untuk apa patuh pada perintah orang lain.karena merasa kaya dan semua keinginan tentu terkabul berkat semua harta dan bartabatnya. Uang, salah satu bukti yang disombongkan oleh orang kaya itu, tapi apa yang dicari didunia ini? Kemewahan, kekayaan, kecantikan, atau ketenaran? Semuanya bukan yang ku cari. Aku hanya ingin mendapatkan kebahagian saja didunia ini. Tapi bisakah aku meraihnya di zaman serba instant ini? Aku sendiri masih berfikir. Setiap langkah, setiap kelakuan pasti ada campur tangan dengan uang. Betapa sulit ku cerna, dalam suatu pengadilan contohnya, pihak yang bersalah tentu akan mendapatkan hukuman tapi apa arti hukuman jika kesalahan itu bisa tuntas dengan sogokan uang.
Apakah hidup ini penuh dengan material? Apakah semuanya bisa di beli dengan uang? Apakah orang miskin tak berhak memiliki apapun,selama ia masih menjadi pengotor dunia? Hidup terlunta-lunta, tinggal dibawah jemaatan, apakah itu cerminan negara yang kaya akan sumber kehidupan. Aku masih teringat pada suatu malam, saat aku masih berada di kampungku. Ketika aku pulang dari rumah teman, kujumpai udin sedang rebahan di pelataran rumah seorang penduduk. Malam itulah aku mendengar prinsip hidupnya yang aneh.
"dari mana lu?" tanyanya kepadaku dengan bahasa agak kasar.
Kaget juga aku disapa seperti itu, kuhampiri dia. "ngapain kamu disini, din?" aku balik bertanya.
"lagi santai," uding mengepul-ngepulkan asap cerutunya sambil merapatkan pakaiannya yang compang-camping. Pada saat seperti itu aku melihat bahwa udin sebetulnya orang waras.
"aku heran sama kamu, din. Sebetulnya kamu itu gila beneran atau bohongan, sih?" tanyaku iseng sambil jongkok didekatnya.
"lu liat sendiri, gw gila nggak?" udin melotot.
"kamu sebetulnya waras din"
"nah, lu tau sendiri"
"tapi mengapa kamu seneng amburadul seperti ini?"tanyaku lagi.
"begini lebih enak. Nggak pusing mikirin dunia yang berbelit ini. Dengan menggila begini gw dapet makanan gratis, ngerokok gratis, gw juga dapet tiduran dimana saja. Gw orang merdeka!" jawab udin seenaknya.
Aku terheran-heran mendengar prinsip hidupnya yang lain dari pada yang lain.
"kamu sebetulnya tidak gila din, tapi kamu bener-bener gila dengan prinsip hidupmu yang ngelantur itu," sergahku.
"ah, namanya juga jakarta, mas. Semau-mau orang dong!" udin tertawa sambil mengepul-ngepulkan asap cerutunya.
Aku geleng-geleng kepala.
"sini bagi duitnya!" katanya kemudian.
"nanti dulu. Kamu menggila seperti ini katanya patah hati, ya? Apa betul begitu?" tanyaku lagi.
"itukan kata orang."
Jadi, bukan karena patah hati?"
Dia menggeleng. "udah gw bilang tadi, gw menggila begini lantaran gw ingin jadi orang merdeka. Semuanya gratis. Buat apa pusing-pusing mikirin dunia!" katanya kemudian.
"ya, tapi kamu dicap orang gila, din," kataku.
"ah, namanya juga jakarta, mas. Terserah apa kata orang. Lu elu, gua-gua! Semau-mau orang, dong!" udin menjawab serius kemudian tertawa. " sini, bagi duitnya!"
Aku berdiri. Kulemparkan uang seratus rupiahan kepadanya. Udin menyergapnya dengan gesit tanpa mengucapkan terima kasih. Aku pergi.
**
Prinsip hidup udin yang aneh itu terngiang-ngiang ditelingaku. "ah, namanya juga jakarta, mas" ucapan itu mengiris-ngiris perasaanku. Sebuah ucapan yang dikeluarkan seenaknya tanpa rasa tanggung jawab sedikit pun. sudah demikian komplekskah kehidupan di kota Jakarta sehingga menggila juga dijadikan profesi?
Kepergianku ke kota ini ingin merasakan suasana yang beda untuk sekalian liburan dan umroh tapi hanya seorang diri saja. Siapakah yang hendak aku bawa? Orang tuaku kini tiada, hanya bersama nenek aku hidup hingga besar seperti ini. Tapi apa hendak dikata, nenek pergi tanpa sepengetahuanku menghadap illahi. Di tanah lapang belakang rumah itu terlihat pusaran masih memerah.
Banyak sekali pengalaman yang kutemui disini. kehidupan adat dan tata cara bergaulpun berbeda. Pikiranku kembali pada prinsip kehidupan udin yang nyeleneh itu. Apakah hanya di Jakarta saja menggila juga dijadikan profesi? Apa yang menyebabkan terjadi seperti itu?. Dari pertanyaan itu timbulah niatku untuk menjadi seseorang yang bisa mengerti akan kehidupan orang lain, mengerti perasaan orang lain, kesedihan orang lain. Rencanaku setelah lulus kuliah aku ingin masuk dalam jurusan tentang hukum. Mengerti dan menjalankan sesuai apa yang kusaksikan, kurasakan. Mereka terdiam, tapi begitu banyak cerita-cerita mereka yang ingin dimengerti.
"Dan lihatlah,bu. Dunia kian ramai. Berbagai tingkah laku manusia dan ragam kehidupannya banyak memberikan inspirasi kepadaku. Aku ingin bercerita tentang mereka, tentang penderitaan mereka, tentang kebahagiaan mereka, juga tentang perjuangan hidup mereka. Dan suatu saat kelak aku tak sendiri lagi, bu. hidup besama dengan cucumu dan juga pendamping hidupku dan suatu saat kelak aku dapat membangun rumah yang megah di samping petak sawah kita. Dan, padi yang kita tanam pasti akan bertambah subur berkat tetesan keringatku."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar